Beranda Hukum & Kriminal Ijazah Jadi Jaminan Kerja, Legal atau Ilegal?

Ijazah Jadi Jaminan Kerja, Legal atau Ilegal?

52
0

Oleh: Aulia Aziz Al Haqqi, SH., MH., CCLE., CPArb (Praktisi Hukum)

KITOUPDATE.COM – Bayangkan, Anda melamar kerja dengan penuh semangat, membawa berkas lengkap, lalu di akhir wawancara HRD berkata: “Ijazah asli Anda harus ditinggal di perusahaan sebagai jaminan.”

Banyak pencari kerja akhirnya mengangguk terpaksa karena takut kesempatan hilang begitu saja. Alasannya sering kali sederhana: sebagai jaminan agar pekerja tidak keluar sebelum kontrak berakhir. Namun di balik alasan yang tampak “rasional” ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah tindakan tersebut sah menurut hukum?

Sebagai advokat, saya sering menemui kasus semacam ini. Pekerja mengadu karena ijazahnya ditahan perusahaan lama, padahal ia sudah tidak lagi bekerja. Ada yang ingin melamar pekerjaan baru, ada yang ingin melanjutkan studi, tetapi langkah mereka terhenti hanya karena satu hal: ijazah tidak bisa diambil kembali.

Perspektif Hukum

Mari kita lihat secara hukum. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sama sekali tidak memberi ruang bagi perusahaan untuk menahan ijazah karyawan. Tidak ada satu pun pasal yang menjadikan ijazah sebagai barang jaminan dalam hubungan kerja.

Sebaliknya, Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa hubungan kerja lahir dari perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Artinya, apabila terdapat klausul atau kebijakan perusahaan yang memaksa pekerja menyerahkan ijazah, maka klausul tersebut dapat dipandang batal demi hukum, karena bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Lebih jauh, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan perlakuan yang adil. Penahanan ijazah jelas melanggar prinsip ini. Ijazah adalah dokumen pribadi, bukan instrumen yang boleh dijadikan alat tekan dalam hubungan industrial.

Risiko Hukum bagi Perusahaan

Perusahaan yang tetap menahan ijazah pekerja berpotensi berhadapan dengan risiko hukum, baik perdata, pidana, maupun administratif:

  1. Perdata: Penahanan ijazah dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dengan konsekuensi ganti rugi.
  2. Pidana: Penahanan ijazah berpotensi dikualifikasikan sebagai tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP.
  3. Administratif: Dinas Ketenagakerjaan dapat menjatuhkan teguran, sanksi administratif, bahkan merekomendasikan penghentian sementara kegiatan usaha bila terbukti melanggar norma ketenagakerjaan.

Dengan demikian, bukan hanya pekerja yang dirugikan, tetapi juga reputasi dan keberlangsungan bisnis perusahaan ikut dipertaruhkan.

Solusi yang Sah dan Bermartabat

Sebagai advokat, saya selalu menekankan bahwa menahan ijazah bukanlah solusi, melainkan sumber masalah baru. Jika perusahaan ingin memastikan pekerja tidak keluar sebelum kontrak berakhir, cara yang sah dapat ditempuh dengan:

  • Membuat perjanjian kerja yang jelas mengenai hak dan kewajiban,
  • Mencantumkan konsekuensi finansial yang proporsional jika pekerja mengundurkan diri sebelum kontrak selesai,
  • Mengutamakan hubungan industrial yang sehat berdasarkan asas saling menghormati, bukan mengekang.

Langkah-langkah tersebut jauh lebih bermartabat dan sesuai hukum dibanding praktik penahanan ijazah.

Penutup

Sebagai advokat, saya menegaskan: tidak ada hukum yang membenarkan ijazah dijadikan sandera. Ijazah adalah hasil perjuangan panjang, simbol intelektualitas, dan hak absolut yang melekat pada setiap individu. Menahannya sama saja dengan merampas martabat, karena ijazah bukan barang gadai, melainkan bagian dari identitas diri seseorang yang dilindungi oleh hukum.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini