PALEMBANG, KITOUPDATE.COM – Kejaksaan Negeri (Kejari) Palembang terus menunjukkan keseriusannya dalam mengusut tuntas kasus dugaan tindak pidana korupsi, yang terjadi di lingkungan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Sumatera Selatan (Sumsel).
Terbaru, Kejari Palembang secara resmi menetapkan mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas PMD Sumsel, Wilson, sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah mangkir berulang kali dari panggilan penyidik.
Penetapan status DPO ini diumumkan langsung oleh Kepala Kejari Palembang, Hutamrin SH MH, dalam konferensi pers yang digelar pada Senin, 26 Mei 2025.
Namun sayangnya, sejak penetapan tersebut, Wilson tidak pernah memenuhi panggilan penyidik secara patut.
Bahkan ketika dipanggil kembali dengan status tersangka, Wilson hanya mengirimkan surat keterangan sakit, namun keberadaannya justru tidak diketahui hingga saat ini.
“Karena terus menghindar dan tidak kooperatif, kami menetapkannya sebagai DPO. Kami meminta masyarakat yang mengetahui keberadaannya untuk segera memberikan informasi kepada pihak Kejari Palembang,” tegas Hutamrin.
Kejari Palembang juga telah meminta bantuan dari bidang intelijen Kejaksaan Agung untuk turut melacak dan menangkap Wilson.
Hutamrin dengan tegas mengimbau agar Wilson segera menyerahkan diri, karena tidak ada tempat aman bagi pelaku korupsi.
“Sampai ke lubang semut pun akan kami cari. Tidak ada ruang aman bagi pelaku korupsi,” ujarnya.
Sebelumnya, nama Wilson mencuat dalam sidang perdana pembacaan dakwaan terhadap tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan seragam batik untuk perangkat desa se-Sumsel pada tahun anggaran 2021.
Sementara itu, Agus Sumantri yang merupakan Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Sumsel periode 2020–2025 sekaligus makelar proyek, menerima bagian terbesar senilai Rp156,4 juta.
Joko Nuraini, selaku subkontraktor, menerima Rp403,9 juta, dan Priyo Prasetyo yang merupakan ASN Dinas PMD Sumsel, menerima Rp5 juta.
Modus operandi dalam kasus ini diduga melibatkan praktik mark-up anggaran dalam pengadaan pakaian batik yang nilainya tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.
Proyek ini awalnya digagas sebagai bagian dari program seragam batik perangkat desa yang dicanangkan oleh Gubernur Sumsel kala itu, namun berujung menjadi ladang korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp871,3 juta.
Dalam perkembangan sidang, sejumlah fakta mencuat ke permukaan, termasuk aliran dana yang tidak hanya mengalir ke para terdakwa utama, namun juga diduga melibatkan pejabat lain, termasuk Wilson.
Kini, dengan penetapan Wilson sebagai DPO, Kejari Palembang menegaskan komitmennya dalam menuntaskan kasus ini tanpa pandang bulu.
Langkah tegas ini menjadi sinyal bahwa upaya pemberantasan korupsi di Sumsel akan terus digencarkan.
“Kami tidak akan berhenti sebelum semua yang terlibat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum,” tutup Hutamrin.